Monday, May 17, 2010

Situs di Sekitar Gn Wayang, Bandung



Sumber : Harian Pikiran Rakyat 19 Februari 2008

Oleh T. BACHTIAR

KATA wayang dalam Gunung Wayang yang berada di selatan Bandung itu ternyata bukan

berasal dari kata wayang (golek) seperti yang kita kenal saat ini. Wayang di sini

berasal dari kata wa, yang berarti angin atau berangin lembut, dan yang atau hyang

artinya dewa. Jadi, kata wayang yang menjadi nama gunung ini berarti angin surgawi

atau angin dewata yang lembut, yang mencirikan gambaran keindah-permaian alam yang

abadi.


Gunung Wayang sudah dikenal sangat lama, sejak manusia leluhur Bandung memuja

Tuhannya di kesunyian alam yang permai. Dr. N.J. Krom (1914) melaporkan bahwa di

salah satu puncak Gunung Wayang terdapat beberapa arca dari batu cadas yang

pengerjaannya kasar, dan terdapat pula 40 arca lainnya. Dalam salah satu kuburan di

sana terdapat pecahan-pecahan tembikar, kapak batu, dan tembikar.

N.J. Krom juga melaporkan, di dekat hulu Ci Tarum terdapat guci-guci dan sebuah

arca dengan mahkota (seperti sebuah meriam kuno).


Di sisi Perkebunan Kina Argasari, Pacet, terdapat parit-parit pertahanan yang

terbentuk rapi. Bila dilihat dari atas, terdapat pola-pola yang teratur mengikuti

garis ketinggian yang kemudian dipapas untuk kepentingan pertahanan. Keadaannya

masih terjaga, kecuali di beberapa tempat yang pernah dipakai untuk pembibitan kopi

serta beberapa rumah yang berjajar di arah selatannya.


Bujangga Manik, rahib pengelana dari Kerajaan Sunda abad ke-15, dalam perjalanan

pulang dari ekspedisi suci kedua mengelilingi Pulau Jawa dan Pulau Bali,

menyempatkan untuk mengunjungi tempat suci di Gunung Wayang.

Dalam daun lontar Bujangga Manik menulis:

“…

Sacunduk ka Gunung Sembung,

Eta huluna Ci Tarum,

Di inya aing ditapa,

Sambian ngeureunan palay,

Tehering puja nyanghara,

Puja nyapa pugu-pugu,

Tehering nanjeurkeun lingga.

…”

“…

Sadari aing ti inya

Leumpang aing ngidul-ngetan,

Meuntasing di Ci Marijung,

Meuntasing di Ci Carengcang,

Meuntas aing di Ci Santi,

Sananjak ka Gunung Wayang.

…”

Ini menunjukkan, bahwa Gunung Wayang dan sekitarnya sudah sangat dikenal sejak lama.

Pada tahun 1930-an Pangalengan sudah menjadi objek wisata yang terkenal karena

pemandangan alamnya yang permai. Apel dan kapas yang bermutu tumbuh dengan baik di

sini, ditambah keasrian hotelnya, membuat Pangalengan menjadi sangat terkenal.

Nji Anah, Zangeres-Dichteres di Tjiandjoer, juru mamaos Cianjuran dan penulis dari

Cianjur, menulis pupuh yang kemudian menjadi buku panduan wisata, Beschrijving van

Pangalengan en Omstreken yang dilengkapi dengan foto-foto dan peta berukuran besar

yang sangat terperinci.


Dalam pupuh Sinom, Nji Anah menulis:

Tanah ma’mur Pangalengan

Mun ku urang dikuriling

Atawa ditingalian

Palih ti wetan ngadingding

Watesna Gunung Bedil

Gunung Wayang Gunung Windu

Ngantay jadi sajajar

Jiga nu pairing-iring

Cek urang teh bade arangkat ka mana?

Tanah Makmur Pangalengan

Jika kita kelilingi

Atau sekadar dilihat

Sebelah timur mendinding

Batasnya Gunung Bedil

Gunung Wayang Gunung Windu

Seperti beriring-iring

Kata kita mau berangkat ke mana?



Dalam buku itu, Nji Anah pun menuliskan sakakala Gunung Wayang:

Tersebutlah seorang keturunan Ratu yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Dalam

kehidupannya ia sering bersemedi di puncak Gunung Wayang yang sunyi. Sang Pangeran

mempunyai seorang puteri cantik tiada tandingannya. Puteri Langka Ratnaningrum,

namanya. Ia sudah mempunyai calon, pemuda keturunan Galuh. Gagak Taruna, namanya,

yang sedang menempa diri dengan melakoni hidup bertani di lembah Ci Tarum yang

subur. Pemuda yang rajin, siang bertani, malam bersemedi.


Padi tampak subur dan hasilnya pasti akan jauh lebih banyak dari panen musim lalu.

Maka disepakati untuk segera menikah dengan puteri pujaan hatinya.

Seperti biasa, ia sering bersemedi di makam Nyi Kantri Manik di hulu Ci Tarum.

Malam itu terlihat datang gadis cantik yang tiada taranya. Gagak Taruna kaget.

Diam-diam ia jatuh hati kepada gadis itu, namun si cantik segera menghilang di mata

air. Sadar itu sekedar godaan, maka ia segera pulang. Namun pikiran dan hatinya

masih terus terpaut kepada si cantik di hulu Ci Tarum.


Padi sudah menguning, tapi belum juga dipanen. Rupanya Gagak Taruna sedang kasmaran

kepada bayangan si cantik. Semua merasa aneh, karena Sang Pangeran terlalu sering

bersemedi di hulu Ci Tarum begitu magrib menjelang. Bukan tiada yang mengingatkan,

namun pemuda itu sudah terpincut senyum yang sangat memikat.

Nyi Kantri Manik asalnya gadis yang cantik yang sakit hati hingga meninggalnya

karena pemuda pujaan calonnya tidak menepati janji untuk bersatu. Kini ia selalu

membalas dendam dan membenci semua lelaki yang lengah.


Sang Pangeran selalu diingatkan agar segera mempersiapkan diri karena waktu

pernikahan sudah dekat. Padi yang sudah lama matang kemudian dipanen. Persiapan

menikah besar-besaran sudah dipenuhi. Ketika waktunya tiba, iring-iringan seserahan

bergerak menuju puncak Gunung Wayang tempat calon mertuanya berada.

Setelah calon pengantin pria dirias, ia memohon diri untuk melakukan nadran ke hulu

Ci Tarum. Sesampainya di sana, ia menyuruh pengiringnya mundur dan segera menuju

puncak Gunung Wayang, karena ia akan segera menyusul. Setelah kembang rampe, melati

dan campaka ditebar, di seberang terlihat Nyi Kantri Manik tersenyum memikat.

Dengan sigap Gagak Taruna berdiri, berjalan menuju ke tempat senyuman yang terus

mengembang. Gagak Taruna terus berjalan di dalam air menuju bayangan hingga

akhirnya tenggelam.

Di tempat calon pengantin wanita, semua gelisah menunggu, ke mana Gagak Taruna?

Rombongan yang menyusulnya mendapatkan Sang Pangeran sudah mengambang.

Pangeran Jaga Lawang sangat prihatin. Ia melampiaskan rasa dukanya itu dengan

mengobrak-abrik apa yang ada di dapur. Hawu/tungku dilemparkan dan perabot dapur

dibanting. Makanan yang dimasak dilemparkan sampai habis, maka terbentuklah kawah

Gunung Wayang.

Air yang mendidih dengan lalab-lalabannya dilemparkan membentuk kawah Cibolang di

Gunung Windu.

Puteri Langka Ratnaningrum sangat bersedih, lalu berjalan tak tentu arah. Ternyata

ia sudah berada di dalam hutan. Air mata darah terus mengucur. Itulah yang kemudian

membentuk air terjun Cibeureum di Gunung Bedil.

Nayaga yang masih berharap Sang Pangeran datang tak mau pergi, maka berubahlah

mereka menjadi arca. Sebagian alat-alat tabuhnya dilemparkan, di antaranya

membentuk Gunung Kedang.

Mayit Gagak Taruna dikubur di hulu Ci Tarum. Sementara itu Pangeran Jaga Lawang

menempa diri menyepuh hati, menghyang di Gunung Seda, ia selalu menanti putri yang

dicintainya segera pulang.


Oleh karena itu jangan heran, bila pada malam bulan purnama sering terdengar

sayup-sayup bunyi gamelan. Itulah prosesi penyambutan pengantin pria. Bila terlihat

asap Gunung Wayang mengepul berlapis-lapis, itu artinya keluarga pengantin

perempuan sedang sibuk memasak.


Kini, Gunung Wayang-Windu itu sudah dimanfaatkan energi panas buminya (geotermal),

sehingga dapat menambah pasokan energi untuk Jawa-Bali. Panas bumi di sini akan

panjang umurnya kalau pasokan air yang meresap ke dalam bumi terjaga. Sebaliknya,

bila keadaan hutan di tangkapan hujan yang memasok air terus berkurang, dapat

dipastikan umurnya akan berkurang.***


Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung


No comments:

Post a Comment