Sunday, August 14, 2011

ALAM PAGETO MENURUT KITAB-KITAB PANGRUHUM KISUNDA



(Richadiana Kadarisman Kartakusuma)



SEWA KA DARMA

Sewakadarma (SD) berbahasa Sunda Buhun (Perpustakaan Nasional, Br. 408. SD) tentang ajaran (Sang) Sewakadarma ‘pengabdian atau kebaktian terhadap darma’ ditulis pada helaian daun nipah 37 lempir (74 halaman); tapi yang ditulisi 67 halaman.


SD disusun seorang pertapa perempuan bernama Buyut Ni Dawit yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Tidak mengherankan jika SD menguraikan mengenai gisa ‘lesung’ dengan istilah-istilah yang khas untuk perempuan, sepenti dikasayan, dyangiran, dan dipêsekan. Juga uraian mengenai pakaian bidadari.


SD menampilkan “agama pribumi” - unsur Hiyang yang bertahta di kahiyangan, bertaut dengan kalöpasan ‘kelepasan, moksa’ yang menekankan kepada penggunaan bayu ‘tenaga’, sabda ‘ucapan’, dan hêdap ‘tekad’ sesuai tuntutan dan petunjuk darma ke dalam dua bagian. Pertama ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Melukiskan peristiwa maut secara indah dan mengesankan karena maut merupakan “pintu gerbang kelepasan” bagi jiwa. Kedua melukiskan perjalanan jiwa sesudah meninggalkan “penjara”nya yang berupa jasad dan kehidupan duniawi


Cara penulis melukiskan tempat yang dilalui jiwa dalam perjalanannya menuju gerbang surga menunjukkan bahwa ia sangat akrab dengan suasana pegunungan yang mungkin menjadi tempat tinggalnya selama hidup bertapa. Tumbuhan, satwa, bukit, lembah, jembatan, pancuran, dataran tinggi adalah suasana pegunungan dikhayalkannya menjadi suasana daerah pinggiran surga:


/35/ tuluy ñorang bönang ñayu- Lalu menempuh tempat yang diperindah

tajur pinang - pohon pinang

kumara sinar hanjuang- kemilau sinar hanjuang

sasipat mata handölöm- handölöm segaris mata

salaput böhöng tatali kayu waduri- widuri setinggi leher

manara döng kêmbang bulan- lantana dan bunga bulan

wera tumpang wera lancar- wera tumpang wera lancar

kêmbang soka- bunga soka



Daerah perbatasan surga itu penuh dengan berbagai jenis serangga penghasil madu persediaan makanan para dewa: bangbara tunggul, bangbara kumbang, engang, tiwuan, siröpön, dan töwöl. Di surga pun ada tangga pada tiap ujung jalan seperti tangga terpasang pada pintu pagar yang mengelilingi dusun, hanya bahannya berbeda. Surga berlapis-lapis menurut derajat penghuninya. SD menyebutkan kedudukan mata angin dan bahan baku bangunan kahiyangan nya menurut warna masing-masing:


Di atas kahiyangan kelima (Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Siwa) terletak kahiyangan Sari Dewata dengan Ni Dang Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun ikrarnya sebenarnya terdorong oleh kesedihan karena cintanya tidak berbalas sehingga karenanya dia tidak dapat menempati surga tertinggi.


/58/ ... liwat saundak döi ti iña- Lewat setingkat lagi dari situ

datang ka sari dewata- tiba ke Sari Dewata

gösan wirumananggay- tempat Wirumananggay

döngöng pwa langkawang tidar - dan Pwah Langkawang Tidar

pwa sêkar dewata- Pwah Sekar Dewata

döng bagalna- dan tunangannya

ni dang larang nuwati - Ni Dang Larang Nuwati

katyagian papa hêdapna cawene- yang ingkar derita karena tekad perawan

möyötan maneh mo lakian- berikrar tidak akan bersuami

na hêntö dyasangrahakön- karena bertepuk sebelah tangan

hantö dipikatrêsna- tidak dicintai

diña kasorgaanana- dalam kebahagiaannya



Setingkat di atas kahiyangan Nuwati, terletak kahiyangan Bungawari, di situlah tempat tinggal Pwah Sanghiyang Sri (dewi padi), Pwah Naga Nagini (dewi bumi), dan Pwah Soma Adi (dewa bulan) yang menghuni jungjunan bwana ‘puncak dunia’.


Di situlah batas kehidupan surgawi. Sang Atma ‘Jiwa’ yang telah lepas dan kungkungannya singgah di setiap tingkat surga. Namun jiwa yang mantap karena gemblengan ajaran Sewa ka darma tidak akan berlama-lama di situ. Ia akan terus naik mencari lapisan yang layak bagi “dirinya”. Dari Bungawari masih ada tangga emas untuk naik ke lapisan lebih tinggi.


Untuk masuk ke situ tidak akan ada ajakan atau undangan. Jiwa yang sempurna menjalankan Sewa-ka-darma akan mampu memasukinya. Ia akan tiba di bumi kancana ‘dunia emas’; di situlah terletak jatiniskala ‘kegaiban yang sejati’. Keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Jiwa telah sampai ke ujung perjalanan karena di situlah terletak keabadian. Ia telah lepas dan melampaui para dewa dan para hyang. Itulah kebahagiaan sejati digambarkan sebagai:



/64/ ... suka tanpa balik duka- Duka tanpa mengenal duka

warêg tanpa balik lapar- kenyang tanpa mengenal lapar

hurip tanpa balik pati- hidup tanpa mengenal mati

sorga tanpa balik papa- bahagia tanpa mengenal nestapa

hayu tanpa balik hala- baik tanpa mengenal buruk

nohan tanpa balik wogan- pasti tanpa mengenal kebetulan

moksa löpas tanpa balik wulan- moksa lepas tanpa mengenal ulangan hidup


Dalam gambaran mengenai moksa itu kita menarik simpulan bahwa sekalipun berbicara tentang dewa-dewa Hindu, berpijak pada rucita Budisma mengenai nirwana yang sebenarnya berarti ‘tertiup habis’. Maksudnya, telah padam segala hasrat dan nafsu: Jiwa dalam keadaan bebas. Rucita nirwana tidak memasukkan peranan tuhan ke dalamnya; hanya karma yang menentukan. Rucita karma dalam Sewakadarma menggambarkan Jiwa yang mencapai moksa itu berada dalam suasana dunia yang:


/65/ ... twatwag kajatiniskala - Tiba pada kegaiban murni

luput ti para dewata - lepas dari para dewata

löpas ti sang hyang- lepas dari sanghyang

tan hana kara - tak ada rintangan

lêñêp añara cintya - meresap merasuk alam pikiran

kena rampes tanpa denge - sebab utuh tanpa dengar

kena suwung tanpa wastu - sebab hampa tanpa wujud

ka nu lêngis tanpa kahanan- kepada yang halus tanpa kurungan (wadah)

döng alitan - dan lembut

(...) (...)

sarwa tunggal wisesa - serba tunggal kuasa


SANGHIYANG SIKSA KANDA NG KARESYAN

Sanghyang Siksa: Kanda ng Karêsyan (Perpustakaan Nasional Kr./Koropak 630). Naskah daun nipah itu ditulis menggunakan (pisau) pangot, selesai ditulis dalam tahun Saka nora catur sagara wulan (1440 S=1518 Masehi).



Naskah itu terdiri atas dua bagian. Bagian pertama disebut Dasakrêta sebagai kundangön urang reya ‘pegangan orang banyak’, bagian kedua disebut Darmapitutur berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengetahuan yang seyogianya dimiliki oleh setiap orang agar dapat hidup berguna di dunia. Uraian itu nampak sekali didasarkan pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Walaupun SSKK menyebutkan dirinya karêsyan, isinya tidak hanya berkenaan dengan kehidupan kaum agamawan.
Bahkan lebih banyak yang berkaitan dengan kearifan dan kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. SSKK cukup menarik karena pada bagian akhirnya menyebutkan sang sewaka darma sebagai sumber pegangan akhlak. Apakah tidak mungkin hal itu mengacu kepada ajaran yang terkandung dalam naskah SD? Isi ajaran yang tersurat dalam SSKK sebagian besar justru ditujukan kepada kelompok yang bukan resi, terutama dalam hal pelaksanaan tugas hulun ‘rakyat’ bagi kepentingan raja. Ditinjau dari isinya, kata siksa kanda ng karêsyan mungkin dapat diartikan ‘aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma.

Berdasarkan darma itulah SSKK menampilkan pandangan yang berbeda mengenai moksa sebagaimana yang tersurat dalam SD khas bersifat keagamaan. Perbedaan itu terdiri atas:
Pertama, SSKK membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing.


Kedua, bila tuntutan darma terpenuhi dengan sem-puma, tercapailah krêta ‘kesejahteraan dunia’. Ketiga, keberhasilan dalam darma akan membuka kesempatan untuk moksa bagi siapa pun tanpa harus menjadi “pendeta” dulu.


Paparan kahiyangan para dewa lokapala ‘pelindung dunia’ (Isora, Wisnu, Mahadewa, Brahma, Siwa) dalam SSKK didasarkan pada rucita ajaran Siwa--sidhanta. Paparan lokasi kahiyangan itu menurut warna dan kedudukan mata angin, dan terdapat pada bagian pertama (Dasakrêta):


/3/ ... lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima dina bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaraña: purba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupaña; daksina, kidul, kahanan Hyang Brahma, mirah rupaña; pasima, kulon, kahanan Hyang Mahadewa, kuning rupaña; /4/ utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hirêng rupaña; madya, têngah, kahanan Hyang Siwah, aneka warna rupaña. Ña mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana ‘


(= Kalau terpahami semua Sanghyang Wuku Lima di bumi, tentulah akan (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat-tempat itu disebut purwa, daksina, pasima, utara, dan madya. Purwa yaitu timur, tempat Hyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempat Hyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hyang Mahadewa, kuning warnanya. Utara yaitu utara, tempat Hyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian itulah Sanghyang Wuku Lima di bumi’.)

Dalam pada itu, paparan mengenai suasana kahyangan atau kalanggêngan dalam SSKK ternyata hampir tidak berbeda dengan paparan SD, dan terdapat pada bagian kedua (Darmapitutur):


/25/ ... Ña mana kitu ayöna, na janma ingêt di Sanghyang Darmawisesa, ñaho di karaseyan ning janma. Ya ta sinangguh janma rahaseya ngaranna. Lamun pati ma, eta atmana manggihkön sorga rahayu. Manggih rahina tanpa balik pêtêng, suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta sinangguh parama Iêñêp ngaranna


(= Manusia yang teringat Sanghyang Darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia; itulah yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Jika meninggal, sukmanya akan menemukan kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa menderita, indah tanpa keburukan, kepastian tanpa kebetulan, gaib tanpa nyata, hilang tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa. Itulah yang disebut parama-lênyêp (kesadaran utama)’


SSKK menyatakan bahwa moksa adalah keadaan jiwa yang berhasil memasuki kahiyangan, yang dengan tegas membedakan surga (tempat dewa) dengan kahiyangan (tempat hyang). Masuk surga disebut munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa atau luput:


/28/ …Ini kahayang janma: yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suka, ma ngaranna hayang purna, mumul köna ku sarba kasakit; yun suka ma ngaranna hayang bönghar, mumul kantunan ku drabya; yun munggah ma ngaranna hayang sorga, mumul manggihkön bwana; yun luput ma ngaranna hayang mokta, mumul kabawa ku para sorga. Ña mana sakitu kahayang janma sareyana ‘


(= Inilah keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, dan yun luput. Maksudnya, yun suda adalah ingin sempurna, tidak mau terkena segala macam penyakit; yun suka adalah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah adalah ingin surga, tidak mau menemui dunia, dan yun luput adalah ingin mencapai moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni surga. Demikianlah semua keinginan manusia’.)


Uraian itu memberikan gambaran yang terbalik dari SD, karena dalam SD jiwa yang moksa dikatakan menempati alam lebih tinggi daripada kahiyangan.


JATI NISKALA

Jatiniskala (JN) - Perpustakaan (Kr. 422.) dari kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan, diserahkan oleh Raden Saleh kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Aca 1970:20), mengingat tempatnya dalam peti yang sama dengan naskah-naskah Ciburuy yang lain (peti no. 15).


JN digoreskan pada 14 lempir daun nipah; setiap lempir ditulis pada kedua mukanya, kecuali lempir terakhir yang hanya ditulisi satu muka, sedangkan lempir pertama rupanya ditulis lebih kemudian karena bentuk aksaranya adalah aksara Jawa, sedangkan lempir yang lain beraksara Sunda. Dengan demikian, dari ke-14 lempir itu naskahnya hanya terdiri atas 25 halaman.


Tulisan pada setiap lempir rata-rata empat baris, yang keadaannya masih cukup baik dan utuh, kecuali beberapa aksara yang agak rusak. Kalau memperhatikan bahwa kalimat terakhir naskah itu tidak diakhir dengan ciri baca titik (.), harus dipertimbangkan adanya kemungkinan bahwa JN belum selesai dituliskan.


Walaupun, berdasarkan keadaan naskahnya sendiri dapat diketahui bahwa lempir terakhir itu memang hanya bertuliskan satu muka. JN mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Bahkan, dalam JN nama-nama pribumi itu jauh lebih banyak, dan mereka ada yang memperoleh derajat sebagai apsari ‘makhluk kahiyangan, pendamping dewa’:


/2/ ... ujar sanghyang acikumara, ja cumiri, cakrawati, muku eta löwih lain ja eta niskala, aing alit alit aing, bihöng bihöng aing, hantö hantö aing, tan hana tan hana aing, yata sira manggih ning bumi kumirincing, disada tataböhan, di aci bumi kumirincing, kumarêncang, kumarêncog, rari ti nu rari aci kwaswaran, pêndang pênding narawangsa ...’ Kata Sanghyang Acikumara,“


(= Karena menjadi tanda kekuasaan, hal itu tidak akan terlalu menjadi berlebihan. Karena kaIanggêngan itu, yang mungil adalah kemungilanku, yang mungkin adalah kemungkinanku, yang tidak adalah ketidakanku, yang tiada adalah ketiadaanku. Demikianlah jika kita menemukan dunia yang gemerincing, gemerencang, kerabat muda dari yang lebih muda adalah inti dari segala yang lebih rendah. Alunan suara tarawangsa ...’)


Sementana itu digambarkan bahwa dalam perjalanan menuju kalanggêngan seseorang akan bertemu dengan sejumlah pohaci dan apsari yang semuanya berada dalam “kurungan”:

/4/ ... ujar sang acilarang aduh anakku acikumara, hapu ka madyana, lamun sakitu maan talatah aing akini: lamun mumul ma mula disukah, da lurusan, lamun daek mah baana, döng hiji anak mulah salah tuduhan, aja epwagan, pitu:

pwahtunjung herang,

pwah sri tunjung lenggang

pwah sri tunjung hnah

pwah sri tunjung manik,

pwah sri tunjung putih,

pwah sri tunjung bumi,

pwah sri tunjung bwana,


mangkukurungan, nam, maan aksari kalih, ngaranna:

aksari tunjung naba,

aksari tunjung mabra,

aksari tunjung syang,

aksari tunjung kuning,

aksari nagawali,

aksari naga nagini,

selan, sagini:

pwah sri sarinanawati, döng

pwah aksari manikmaya,

aksari mayalara,

aksari atasti lana,

aksari madongkap,

aksari nikasi,

aksari mayati,

aksari padingin,

aksari kudya kêling,

aksari tuwana,

aksari janalwaka,

aksari manwa hirêng,

aksari madwada,

aksari kunti,

aksari titisari,

aksari kindya manik,

aksari madi pwaka,

aksari pata,

aksari jabun,

aksari galentwar,

aksari warawati,

aksari rumawangi,

aksari kinasihan,

aksari kamwawati,

aksari kêmang,

aksari jatilawang,



pwah bentang kukus:

aksari ratnakusumah

aksari hning hinis jati,

aksari nwantwaña nika,

aksari gêng

aksari kalasan

aksari kagadipi,

aksari endah patala,

aksari seda jati,

aksari imbit jati,

aksari jlijlag sabumi, aksari



/5/ mlar, aksari gwada bancana, aksari sareseh sane ... ‘


Kata Sang Acilarang, “Duhai anakku Acikumara, berangkatlah kau, jika demikian dengan membawa amanatku ini: Rasa malas janganlah kausukai, karena memicikkan. Sebaliknya, kemauan haruslah kaubawa. Lagipula ada satu hal, Anakku. Janganlah kau sampai salah arah, janganlah menyeleweng.


Ada tujuh pohaci, yaitu

Pwah Sri Tunjungherang,

Pwah Sri Tunjunglenggang,

Pwah Sri Tunjunghnah,

Pwah Sri Tunjungmanik,

Pwah Sri Tunjungputih,

Pwah Sri Tunjungbumi, dan

Pwah Sri Tunjungbuwana.

Semuanya berada dalam kurungan dan masing-masing mempunyai apsari yaitu

Aksari Tunjungmaba,

Tunjungmabra,

Tunjungsiang,

Tunjungkuning,

Nagawali, dan

Naganagini.


Kemudian, agak terselang,

Pwah Sri Sarinyanawati.


Di samping itu, ada

Pwah Aksari Manikmaya,

Mayalara,

Atastilana;


apsari yang tiba, yaitu

Aksari Nikasi,

Mayati,

Padingin,

Kuduakeling,

Mayutumawa,

Janaloka,

Manwahirêng,

Madwada,

Kunti,

Titisani,

Kindyamanik,

Kanyawati,

Kemang, dan

Jatilawang.


Kemudian ada lagi yang disebut pwah bintang kukus, yaitu

Aksari Ratnakusumah,

Hening Hinisjati,

Nawang-tonya,

Gen,

Kalasan,

Kagadipi,

Rndahpatala,

Sedajati, dan

Imbitjati.



Kemudian ada lagi para apsari yang tugasnya berkelana di dunia, apsari yang mengembang, apsari yang suka menggoda dan mendatangkan bencana, dan apsari yang ramah ...’


Agar dapat memasuki kalanggêngan dan kembali, maka:


/7/ ... ñawana pêt mêcat sanghyang aci nistmên tina raga alit. Na raga ditunggwan ku bayu dewata hdap dewata sabda dewata. sakitu mana dipajarkön anggös cunduk puhun datang ka tangkal, katutuning bisa, katutuning durêg tan sida ka jati nistmên ya sida tan hana paran sida mwaksah tan patuduhan sira ta manggih tan parupa, tan pareka, tan pakatangan sanga tan bayu tan sabda tan hdap tan tutur tan swarga tan mwaksah tan lêpas tan hyang tan dewata tan warna tan darma ... ‘



(= Maka nyawa Sanghyang Acinistmên (=inti dari segala kebenaran) itu pun meninggalkan tubuh halusnya. Tubuhnya ditunggui oleh daya ketuhanan, ujaran ketuhanan, oleh tekad ketuhanan. Demikian itulah yang dianggap sudah sampai ke pangkal, sampai ke batang. Terkena racun, ter- kena dureg tidak mempan terhadap kesejatian yang sebenarnya. Jadilah tiada tujuan mencapai kelepasan tanpa petunjuk. Ia pun bertemu (dengan sesuatu yang) tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa cerita yang sesungguhnya. Tanpa daya, tanpa ujaran, tanpa tekad, tanpa kisah, tanpa kebahagiaan, tanpa kelepasan, tanpa hyang, tanpa dewata, tanpa warna, dan juga tanpa darma‘)


KAWIH PANINGKES

Kawih Paningkês atau Kawih Panikis (KP) Perpustakaan Nasional (Kr. 419. ) KP terdiri atas 40 lempir daun nipah yang ditulisi kedua mukanya, kecuali lempir terakhir yang hanya ditulisi bagian mukanya. Itu berarti bahwa KP terdiri atas 79 halaman; halaman terakhir yang ditulisi dengan kalimat (...) drêbya larang nusödahan mo- mengesankan bahwa sebenarnya naskah itu belum selesai ditulis.


Namun, meng-ingat bahwa penggal kalimat itu terdapat pada halaman muka lempir terakhir, ketidakselesaian itu tidak dapat dianggap karena ada lempir-lempir tambahan yang hilang atau belum ditemukan. Kenyataan itu justru memberikan petunjuk bahwa nampaknya KP memang tidak terselesaikan, entah apa alasannya.



Sementara itu, jika kita perhatikan lempir pertama KP yang langsung dengan kalimat, luhur tan hana rahina wêngi, ada kesan bahwa seharusnya ada yang mengawali kalimat itu. Apalagi jika diperhatikan bahwa lempir itu tidak diawali dengan ciri yang biasa terdapat pada awal sebuah naskah, yaitu ciri baca pembuka, dugaan ini tentunya lebih kuat.


Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada satu lempir bagian awal naskah yang tidak ada: mungkin hilang, mungkin sudah demikian rusaknya sehingga akhirnya “hilang” rangkaiannya.


KP nampaknya memuat embaran mengenai ajaran agama namun istilah2nya telah mengandung kosakata Sanskrta, diantaranya nama-nama dewa dan istilah dewa, dewata, sri, mahayoga, dan moksah, ditemukan bersama-sama dengan pohaci dan istilah yang dikenal dalam kebudayaan “asli” Sunda: wirumananggay, kahyangan, sanghyang, dan puhun .


Dalam KP terdapat gambaran bahwa pada waktu naskah dituliskan, ajaran pribumi rupanya dapat “mengatasi” pengaruh dari luar namun sebatas peminjaman istilah ke dalam bentuk pemahaman sepanjang ada pengertian setara

/19/ ... baruk da sang wiku lamun muja ka dêwata löngit kawikwana na pandita lamun samadi mihdap hyang dewata hilang na kapanditaan ja kassarkön katinöng sarwa dingan trisna trisna bala swarangan... ‘


(= Katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata, hilanglah kewikuan-nya. Jika pendeta bersamadi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya tergeser oleh kelakuannya sendiri’)


Yang sangat menarik dalam KP adalah peringatan menyatakan,

/22/ ... kitu urang janma ini ulah dek ingkah ti janma lamuntimu na janma mulah eta di- /23/ mana eta kana kilang mantuturkön jati swarangan nuturkön jalan nu bênêr hantö jalan dwa tilu nu trisna jalan sahiji tö aya ngenca ngatuhu ja datar kana tangkal masana tilas masana patêmönang hingan... ‘


(= Maka kita (sebagai) manusia janganlah bergeser dari kemanusiaan, karena sudah ditemukan manusia janganlah hal itu dijadikan alasan untuk menurutkan kesejatian sendiri. Mengikuti jalan yang benar, bukan dua atau tiga jalan kerinduan. Jalan yang tunggal, tidak ada belokan ke kiri ke kanan karena datar (lurus) menuju batang pohon bekas tempat yang tidak terbatas’ )



SêRAT DEWABUDA (SEWA KA DARMA berbahasa JAWA KUNA)

Sêrat Dewabuda (SDB) atau Sewakadarma, koleksi Perpustakaan Nasional (milik Brandes, Br. 638). Dalam koleksi naskah Perpustakaan Nasional dan berbagai tempat penyimpanan yang lain dapat diketahui bahwa cukup banyak naskah yang bernama Sêrat Sewakadarma yang umumnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.


Katalogus naskah berbahasa Jawa yang kini merupakan khazanah bagian naskah lembaga di Belanda dan Eropa umumnya, disusun oleh Pigeaud (1960—2), misalnya, memberikan gambaran kepada kita bagaimana banyaknya naskah berbahasa Jawa dengan nama Sewakadarma itu.


Sewakadarma tidak terlalu banyak ditemukan hanya ada tiga buah, yaitu Sewakadarma (Br. 408), Sêrat Sewakadarma (Br. 637), dan Sêrat Dewabuda (Br. 638). SDB yang berbahasa Jawa Kuna itu dituliskan pada daun nipah, terdiri atas 129 lempir, sedangkan halaman-nya berjumlah 255 karena lempir pertama hanya ditulisi satu muka, sedangkan lempir terakhir kosong dan lempir sebelum akhir ditulisi satu muka. Dari kolofon-nya yang terdapat pada lempir 129-30, diperoleh embaran mengenai waktu dan tempat penulisannya.


Berdasarkan kolofon itu dapat diketahui bahwa SDB ditulis selama dua bulan, dimulai pada hari Selasa Kliwon bulan ketujuh, dan selesai pada hari pasaran Pon bulan kesembilan tarikh Saka. Walau tidak menyebutkan harinya embaran yang menyebutkan bahwa waktu itu“menjelang purnama terbenam” dapat dijadikan ancar-ancar untuk memperhitungkan bahwa naskah itu selesai ditulis sekitar tanggal 15 bulan kesembilan itu.


Menurut perhitungan tarikh Masehi, masa itu jatuh antara bulan-bulan Januari-Pebruari (kapitu) dan Maret-April (kasanga). Tahun penulisannya disebutkan tahun Saka 1357, bersesuaian dengan tahun Masehi 1435. SDB ditulis di sebuah lembah bernama Argasela, terletak di tepi sungai Mulutu, di antara dua gunung (Cupu dan Rantay) dan sebuah bukit (Talagacandana).

SDB termasuk yang mengandung ajaran bagaimana pandangan, sikap, dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, serta ajaran agama yang dianut sekurang-kurangnya oleh lingkungan yang menghasilkannya. Dari namanya diduga lingkungan yang menghasilkan naskah itu dalam kehidupan sehari-harinya telah mencampurkan ajaran-ajaran yang bersifat Hindu dengan yang bersifat Buda.

Di samping menyebutkan nama-nama dewa Hindu, SDB juga menyebut hal-hal yang khas ajaran Buda . Dalam kaitannya dengan moksa ‘kelepasan’, SDB mencatatkan,

/55/ ... dlaha ilkaning mati ata yan kapangguhênta ikeng kamoksan. an-panglinari sunyataya. Misra butasêt myawayawa. Irikang aparamarta. ya ta sinangguh aparamarta ngaraña. ya moksa lpas lingña. ikan sunyataya kinawruhan pwaya apan katon pweking aparamarta apa ta menak nikan sêngguhênta moksa lawan kamoksan apan katon pwa ikan alilang ahning nirawarana langgêng nira sraya kasparsa ikang aparamarta iken bayu langgêng ndya ta matangyan moksa ika


(= Langgeng hingga ajal jika dapat kautemukan kelepasan itu. Katakanlah sebagai sunyataya, bergabung yang hidup di luar, ke dalam aparamarta ‘ketidak-benaran’. ltulah bertemu dengan ketidakbenaran namanya, mencapai moksa lepas katanya, menuju sunyataya. Hal itu diketahui, karena terlihat sebagai ketidak-benaran. Apakah merasa senang jika kautemukan moksa dan kelepasan itu? Apakah terlihat tiba-tiba, hening dan suci, kekallah kebebasan itu. Terasalah ketidakbenaran itu, udara yang kekal. Manakah kemudian yang disebut moksa ...‘)


CARITA PARAHIYANGAN

Carita Parahyangan (CP) merupakan sebagian Kr. 406 koleksi Perpustakaan Nasional. digoreskan pada 47 lempir daun nipah, setiap halaman bertuliskan empat baris.


Berlainan dengan lima naskah yang berisi embaran kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, dan pengetahuan, CP lebih bersifat naskah sejarah, walaupun untuk menjadikannya sebagai sumber sejarah masih memerlukan kajian yang teliti dan hati-hati. Embaran CP berkenaan dengan kisah dan perkembangan kehidupan politik di wilayah Parahyangan sejak masa awal (sekitar abad ketujuh) hingga keruntuhan kerajaan Sunda tahun 1579. Naskah itu ditulis pada waktu unsur Islam sudah mulai masuk ke dalam kehidupan masyarakat Sunda, dibuktikan antara lain dengan dikenalinya dua patah kata Arab, dunya dan niat, di samping penyebutan Islam dengan sêlam (Aca 1968:11).


Sehubungan dengan jangkauan isinya itu, hingga saat ini pada umumnya para pengaji naskah bersepakat menduga naskah CP ditulis dalam tahun 1580. Kepastian itu menjadi kian kuat setelah ditemukan naskah Carita Parahyangan (4 jilid) karya Pangeran Wangsakerta (Cirebon) yang menyebutkan bahwa karyanya itu didasarkan pada naskah CP yang berbahasa Sunda.



Hal yang berkenaan dengan kehidupan keagamaan, antara lain ditemukan pada bagian awal, ketika terjadi pergeseran agama pada masa pemerintahan Sanjaya (723-32). Menjelang penyerahan kekuasaan kepada anaknya, Rahyang Tamperan, Sanjaya menganjurkan agar anaknya beralih agama, karena dengan agama yang dianutnya ketika itu, Sanjaya menyebabkan orang menjadi takut:


/14/ ... haywa dek nurutan agama aing, kena aing mrêtakutna urang reya ... ‘...

Janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak’ (Poerbatjaraka 1958:259).


Nampaknya sejak itu kedua agama tersebut bersama-sama berkembang, dan saling lengkapi serta saling isi bagian-bagian yang mungkin dirasakan sebagai kekurangan.


Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ada embaran mengenai pedoman hidup /19/ ... tan krêta ja lakibi dina urang reya, ja Ioba di sanghiyang siksa‘ Tidak merasa aman yang berkeluarga di lingkungan khalayak karena mereka yang melanggar Sanghyang Siksa’



Cag-peun

2 comments:

atoeng said...

Sae pisan kang seratana,keur tatagon hirup urang,kudu kmh lalampahan hirup nu saenyana..Pami milarian buku2 lawas dimana tempatna kang nya.?

Unknown said...

muhun kitu kahirupan teh, kedahnamah seratanna teh diajarkeun kasadaya tingawitan murangkalih tug dugi kasepuh....saenamh dijantenkeun bahan ajaran disakola..

Post a Comment